Mengapa Aku Membuatnya Menangis di Jam 1 Pagi

Semalam, perasaan tak tenang menggelayuti setiap sudut pikiranku. Percakapan telepon yang seharusnya menjadi pelampiasan dari segala beban dalam diriku malah berakhir dengan rasa bersalah menggerogoti setiap sudut yang menjadi pikirku.

Aku menelponnya hingga larut malam, berharap bisa melepaskan semua yang selama ini terpendam dalam hati. Aku bercerita tentang masalah keluarga yang tidak kunjung selesai, tentang kebingunganku sebagai seseorang yang merasa tidak tahu harus bersikap apa dalam banyak hal, dan juga tentang orang-orang terdekatku yang sedang berada di titik terendah mereka. Aku ingin berbagi, ingin merasa bahwa ada seseorang yang bisa mendengarkan dan memberikan sedikit ketenangan.

Namun entah mengapa, percakapan itu berbalik menjadi beban yang tak terduga. Semua perasaan dan kekesalanku yang ingin kuungkapkan malah tersampaikan dengan cara yang salah. Aku tanpa sadar melukai hati orang yang selama ini aku anggap sebagai tempat ternyaman. Suaranya berubah, dan aku bisa mendengarnya—ada kesedihan yang membekas, lebih dari sekadar kelelahan. Ketika aku tanya, ia bilang matanya perih. Aku tahu, itu bukan perih karena lelah fisik. Itu adalah perih yang datang dari kata-kataku yang tak sengaja merobek hatinya.

Saat itu juga aku terdiam. Ada keheningan yang begitu menyesakkan. Aku merasa sangat buruk. Harusnya aku jadi orang yang memberi rasa nyaman, yang memberi rasa aman dalam setiap percakapan. Bukan malah menjadi sumber dari kesedihannya. Bahkan di tengah malam yang seharusnya menjadi waktu untuk menenangkan hati, aku malah membuatnya merasakan sakit yang tak seharusnya ia alami.

Setelah terlalu lama berbicara tanpa sadar, tiba-tiba aku terdiam, dan ada rasa yang kosong yang menghantui. Aku tahu, aku harus meminta maaf, tetapi ada rasa takut yang menggerogoti. Takut jika kata-kata itu sudah terucap dan sulit untuk diperbaiki. Takut jika ia tak akan sama lagi, dan rasa nyaman itu tak akan pernah kembali lagi.

Telepon kami akhirnya terputus, entah karena baterainya habis atau ia yang memilih untuk menutupnya. Aku tetap terjaga, dengan hati yang tak bisa tenang, dengan pikiran yang berputar-putar, menyesali segala hal yang telah terjadi. Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku bisa sampai membuatnya merasa seperti itu? Aku tahu, ia bukan orang yang mudah tersakiti, tapi aku tak bisa menutup mata dari perasaan yang aku dengar di suaranya. Itu adalah kesedihan yang nyata.

Sekarang, yang bisa aku lakukan hanya menunggu. Menunggu apakah ia akan menghubungiku lagi ataukah memilih untuk menghindar. Dan yang paling aku takuti, adalah kehilangan rasa nyaman yang selama ini aku anggap sebagai sesuatu yang tak ternilai. Aku ingin belajar dari kesalahanku, tapi di saat yang sama, aku merasa hancur karena tahu bahwa aku telah menjadi penyebab dari luka yang tak seharusnya ada.

Share: